Rabu, 04 Mei 2011

Cut Nyak dan Keude Kupi


Susita - Opini

SAYA jadi teringat kata seorang teungku, ada dua kitab, yang kalau dibuka maka ia tidak akan habis untuk dibahas. Semakin banyak saja yang akan dibahas. Sedikit susah untuk diakhiri dan ditutup. Dua kitab itu adalah seputar alam ghaib (jin, hantu dan apa yang terkait dengannya) dan dunia wanita dengan apa saja yang terkait dengannya.

Pesan teuku tadi seakan menjadi kenyataan jika kita perhatian rubrik Opini Serambi Indonesia akhir-akhir ini, tulisan tentang wanita, Inong Aceh, dengan berbagai judul seperti, “Prostitusi Aceh Year 2011” (Serambi Indonesia, 26/05/2011) oleh Mahyal De Mila, “Inong Bak Keude Kupi” (Serambi Indonesia, 27/04/2011) oleh Azwardi, “Wisata tanpa Prostitusi” (Serambi Indonesia, 28/04/2011) oleh Yuli Rahmad, dan yang terakhir “Hikayat Inong Keude Kupi” (Serambi Indonesia, 30/04/2011) oleh Jufrizal. 

Pembahasan tentang ureung inong dan keude kupi masih saja hangat. Konon lagi yang bicara adalah laki-laki. Maka itu saya sebagai wanita pun terusik untuk bicara tentang kaum “Inong Aceh”.

Semangat saya semakin menggelora ketika membaca tulisan saudara Jufrizal berjudul “Hikayat Inong Keude Kupi (Serambi Indonesia, 30/04/2011). Menurut saya siapa pun yang bicara tentang wanita harus melihat secara konprehensif, tidak parsial. Banyak hal wanita yang terkait dengan budaya, sejarah, eksistensi, syariat, budaya dan harga diri (muru’ah).

Begitupun bicara gender equality (keteraan jender) dan emansipasi wanita, mestilah arif dan bijaksana. Kita harus pandai melihat mana yang baik dan buruk. Setelah memilih yang baik pun harus dilanjutkan mana yang boleh dan tidak boleh. Tidak semua yang baik itu boleh menurut adat budaya setempat dan boleh menurut agama. Hal ini penting karena adat Aceh dan hukum Islan menyatu bagai dzat ngoen sifet. Lebih penting lagi di saat moto Visit Banda Aceh Year 2011, adalah “toward to the gate of Islamic distenation”. Banda Aceh gerbang Bandar wisata islami”.  

Islam adalah agama yang arif dan bijaksana. Semua boleh dilakukan dalam Islam, kecuali yang dilarang dalam Alquran dan hadis. Namun demikian ada perihal yang terlarang, tapi Islam masih membolehkan (rukhsah) pada kondisi tertentu. Dengan kata lain, dalam Islam ini hampir 80% perbuatan dan pilihan kita yang dibolehkan dalam Islam, termasuk yang dilarang pun masih boleh dilakukan dengan catatan dalam kondisi tertentu. 

Namun sebelum kita kembali membahas inong di kedai kopi Aceh, mari kita lihat fenomena kedai kopi di belahan dunia lainnya. Kalau Jufrizal pernah keluar negeri, atau mendengar cerita kedai kopi dari orang yang pernah keluar negeri. Maka akan tahulah kalau coffee shop, “Starbruk”, “White Cofee”, warung kopi hampir wujud di setiap belahan dunia. Dengan fenomena yang tidak jauh berbeda. Berfungsi sama sebagai tempat santai, “kongkow”, meeting formal atau informal, tempat rileks dan “makan angin”. Bahkan di Aceh bisa menjadi kantor kedua setelah atau sebelum kantor formal dia bekerja. Fungi dan peran kedai kupi di seluruh tempat tidak jauh berbeda. Baik di belahan dunia Barat ataupun Timur, Eropa atau Timur Tengah, Amerika atau Asia. Semua hampir serupa.

Namun perlu sedikit arif dalam melihat keude kupi dalam konteks dan “ureung inong” dalam bingkai ke-Aceh-an. Mungkin kedai kopi di belahan dunia Timur dan Barat sama fungsinya namun berbeda fenomena budaya di masing-masing daerah. Bisa jadi hal ini dipengaruhi idiologi agama yang dominan di suatu tempat. Di Barat hal biasa kalau cafee dipenuhi dua jenis manusia berbeda dalam satu waktu, laki dan perempuan sama hak untuk menikmati apa saja di cafee. 

Dan laki-perempuan boleh berbuat apa saja yang dikehendaki selama tidak mengganggu privasi orang lain. Hal demikian tidak kita jumpai di cafee dan keude kupi di belahan Timur yang dominan dengan budaya ketimuran. 

Nah begitu juga halnya dalam kita melihat keberadaan inong di keude kupi Aceh. Saya setuju dengan Jufrizal, bukan tidak boleh mereka berada di keude kupi. Namun saudara Jufrizal perlu sedikit arif dalam melihat fenomena di mana kita berada. Seperti kata pepatah “di mana bumi dipijak di situ langit dijungjung”.

Dalam budaya Aceh, bukan tidak boleh ureung inong berada di keude kupi, namun dengan sebab ada hajat yang mendesak, seperti membeli suatu keperluan, menghadiri acara formal. Keberadaannya yang tepaksa, karena tidak dapat atau tidak sama jika hal tersebut dilakukan di tempat lain. Sekali lagi masyarakat Aceh bisa mafhum karena kondisi terpaksa dan bukan dipaksakan.

Jadi inong di keude kupi Aceh boleh saja, dengan catatan dia bukan untuk dibiasakan demikian sehingga jadi budaya yang tidak lazim bagi orang Aceh. Karena budaya “duek” di keude kupi sudah menjadi budaya lelaki, dan semakin baik kalau terus dilanggengkan karena di situ bisa bicara lepas tanpa batas. Tanpa formalitas dan bahan terbatas. 

Saya khawatir kalau menjadi budaya anak inong duek di keude kupi. Sehinga seorang inong jadi ikon keude kupi dan ia selalunya hadir, dan mesti. Sehingga tidak sempurna kalau tidak demikian. Budaya ini lazim kalu kita lihat di keude kupi dalam masyarakat Barat yang jauh berbeda dengan budaya kita yang Islami. 

Begitu juga, sunguh tidak arif ketika Jufrizal memberi contoh semangat pahlawan wanita Aceh, Cut Nyak Dhien, secara parsial. Jufrizal hanya melihat semangat Cut Nyak Dhien keluar rumah bergabung dengan pasukan laki-laki dalam medan petempuran bagian dari bentuk emansipasi semata. Selanjutnya disamakan dengan kondisi masa ini. Di saat para inong Aceh yang keluar rumah dan bergabung dengan laki-laki di keude kupi, dengan mengabaikan budaya dan aktivitas yang dilakukan.  

Alangkah lebih arif kalau Jufrizal melihat secara menyeluruh alasan dan fungsi Cut Nyak Dhien keluar memimpin pasukan tempur bersama laki-laki saat itu. Bukalah kembali buku sejarah peperangan Aceh, bagaimana sejarah menoreh semangat kepahlawanan Cut Nyak Dhien, beliau menjadi pemimpin pasukan berperang melawan penjajah “kaphee Belanda”, di tengah kaum adam. Beliau keluar memimpim pasukan karena pada saat itu telah banyak paglima perang lelaki yang “syahid” di medan perang. Dua di antara panglima perang Aceh tersebut adalah suaminya. Hampir saja pertempuran terhenti. Melihat kondisi genting saat itu, tidak ada lelaki yang mau melanjutkan perang, maka sang wanita tangguh Cut Nyak Dhien keluar kehadapan membakar semangat pertempuran yang hampir padam sebagai cambuk motivasi bagi masyarakat Aceh yang Islami saat itu. Lihatlah betapa Cut Nyak Dhien tetap memegang hukum syara’ dalam keadaan pedih sekali pun. Ia tetap tidak mau bersentuhan dan dipegang oleh laki-laki apalagi orang kaphee penjajah Belanda saat harus dipapah dibuang kepengasingannya.

Semangat menjalankan hukum syariat oleh Cut Nyak Dhien perlu diutarakan, agar permisalannya menjadi seimbang dan kofrehensif,  tidak terpengal dan parsial. Sehingga dalam menjadikan Cut Nyak Dhien sebagai figur perempuan Aceh yang berani, shalehah, emansipatif, kesetaraan gender (gender equality) dan bermaru’ah (harga diri) jadi sempurna. Semangat seperti ini hal yang mesti dibanggakan dan dicontoh oleh “inong Aceh”, atau perempuan mana pun  ketika berada di mana pun, apalagi di “keude kupi Aceh”. 

Menjadi arif suatu tulisan tentang inong di keude kupi kalau dibahas dalam kaca mata adat budaya Aceh bukan dengan kacamata budaya Barat yang berbeda dengan budaya Timur. Apalagi di Aceh sedang dihangatkan dengan pelaksanaan Syariat Islam. Walaupun hal tersebut perlu terus dikritisi dengan semangat keaslian adat dan hukum Aceh bersyariat. Hal tersebut mesti kita lakukan kalau tidak ingin adat-istiadat Aceh hilang dari bumi Iskandar Muda. Seperti petuah nektu sang diraja mulia Iskandar Muda, “matee aneuk meupat jeurat matee adat pat tamita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar