Rabu, 04 Mei 2011

TENTANG KOPI ACEH



delvis66 - 03-16-2011 02:24 PM

Benarkah Kopi di Aceh Campur Biji Ganja?
Kopi, bagi sebagian pria dan wanita merupakan minuman pengisi waktu dan sudah sangat akrab. Di Eropa budaya minum kopi sudah ada sejak berabad-abad lalu, menjadi trend menyambut tamu dan sahabat dalam pertemuan informil, mereka istilahkan “coffee morning” atau ” Coffee Party”..
Di seluruh Indonesia, kopi sudah merupakan minuman pelengkap rumah tangga dan minuman sehari-hari. Lihat ,di seluruh kota-kota besar Indonesia bagaiamana tumbuh berjamurnya Restoran buat ngopi dengan konsep modern, menawarkan ngopi seperti di rumah sendiri.,asik sekali…
Di Aceh, kopi juga menjadi minuman yang sangat akrab. Semua deretan warung kopi kelas kedai di kaki lima hingga restoran menengah ke atas, pasti menyediakan kopi untuk pengunjungnya.
Bagi Anda yang pernah bertugas di Aceh (di manapun) tentu dapat merasakan dan melihat pengalaman tersebut. Orang tidak perduli, kopi jenis Robusta atau Arabica. Pokoknya, mau minum kopi, aja…
Di sebuah sudut kota Banda Aceh, ada sebuah tempat terkenal untuk minum kopi, daerah itu di sebut Ulee Kareng. Di situ ada sebuah warung kopi sangat ramai dikunjungi oleh peminat kopi. Entah kenapa pengunjung lebih enjoy minum kopi di situ, padahal di seantero kota Banda Aceh dan sekitarnya banyak terdapat warung kopi mulai kelas kaki lima hingga kelas restoran. Apakah karena suasana dalam kedai -seluas 15 x 20 m- itu bernuansa kekeluargaan atau kekerabatan atau juga karena boleh duduk dengan sebebas-bebasnya dan selama-lamanya, atau karena cita rasa yang berbeda, semua jawaban tersebut. tepat..!
Benar, saya pernah mengunjungi Kedai kopi tersebut. Suatu kali pada jam 17.00 sore saya memesan secangkir kopi (ukuran gelas kecil, seperti biasa buat ngopi).. Saya memesan dengan syarat : Kopinya encer dan disaring, supaya tidak terikut sebuk bubuk kopinya.
Diselingi makanan ringan khas Aceh ditambah cerita ngawur ngidul, merayap kemana-mana, membuat acara minum kopi tersebut makin mantap. Tanpa terasa sudah hampir 2 jam nongkrong di kedai kopi tersebut. Akhirnya kopi habis, lantas saya pulang.
Malam pun tiba, saya coba tidur jam 22.00.. Mata tidak dapat terpejam, pikiranpun ngelantur kemana-mana. Saya tidak bisa tidur.. Kepala terasa pusing, padahal saya juga makan malam, dengan nasi beberapa jam sebelumnya.
Saya tidak yakin penyebab saya tidak bisa tidur adalah akibat minum kopi. Ketika saya utarakankan kepada rekan-rekan tentang hal ini mereka malahan tertawa.. Ada apakah gerangan??. Lalu saya pun melakukan penyelidikan dan uji coba selama beberapa kali selama 1 bulan.
Hasil survey..?. Benar.. beberapa kali saya berkunjung ke kedai itu, selesai minum kopi sepulang dari kedai itu saya tidak bisa tidur… Uniknya, jika saya ngopi jam 10.00 pagi/siang, saya bisa bekerja dengan lebih fokus dan semangat. Ke dua pengalaman ini saya tanyakan kepada rekan saya kembali. Jawaban yang saya terima tidak mengagetkan, katanya tidak ada kandungan ganja dalam kopi tersebut.
Uniknya, rekan-rekan saya (juga peminum kopi rutin) yang datang dari Luar Kota dan saya bawa ke Kedai/warung tersebut, dia juga mengalami pengalaman yang sama : Malamnya tidak bisa tidur.. Akhirnya saya ingin tahu, apa yang terkandung dalam “benda” (kopi) tersebut??. Jangan-jangan dicampur biji ganja atau ada bahan mengandung pengawet di dalamnya, begitu bisik hati saya…
Terlepas apakah ada tidaknya kandungan ganja dalamkopi aceh, di dalam kopi ada mengandung semacam zat kimia yang paling dominan, yaitu: kafein. Zat ini dikenal dengan sebutan Trymetilsantin. Jika zat ini berada dalam tubuh dia akan menstimulir pusat saraf reseptor Adenosin.
Jika simpul saraf ini sudah terangsang maka secara otomatis terjadi katabolisme sehingga memicu terbentuklah hormon Adrenalin. Nah… hormon inilah yang membuat tubuh dan semangat kita terasa segar kembali alias tidak bisa ngantuk sementara waktu.
Semakin berkualitas mutu kopinya akan semakin tinggi juga kadar kafein dan makin cepat/ hebat membentuk hormon adrenalin tadi.
Di Aceh, selain di Gayo, kopi Robusta produksinya minim sekali. Mutu kopi ini sepertinya sangat tinggi. Selain Robusta,kopi Arabica dari Gayo dan di 6 daerah lainnya di Indonesia, (Toraja, Kintamani, Mangkuraja-Bengkulu, Malang, Sidikalang) mutu kopinya termasuk terbaik di Dunia…
Kopi, jika diminum takaran rendah ada positifnya. Dan jika diminum takaran tinggi (intensitasnya) ada juga dampak negatifnya.
Dampak Positif kopi adalah :
1. Kafein. selama dikonsumsi dalam kadar rendah berfungsi sebagai penambah stamina dan mengurangi rasa sakit.
2. Kafein berfungsi menstimulir kerja jantung dan meningkatkan produksi air seni/ Urin.
3. Mengurangi rasa sakit kepala dan melindungi kelopak mata,
4. Jika sudah ketergantungan menyebabkan mudah lelah dan depresi.
5. Minum lebih dri 6 kali sehari dapat menyebakan kerusakan pada dinding pembuluh darah.
Dampak NEGATIF kopi adalah:
1. Meingkatkan resiko Stroke.
2. Pada wanita hamil,konsumsi kopi yang tinggi ( >3 x sehari) bisa menganggu kestabilan emosional dengan berbagai dampak psikis.
3. Menyebabkan penggelembungan pada pemburluh darah, akibat dinding pembuluh darah pecah/ atau tersumbat.
4. Pencetus Insomania, Migran dan tensi darah tidak stabil. Dll.
Mengenai keberadaan kafein di dalam minuman kopi, ternyata kafein itu juga memberi dampak positif, antara lain menyebabkan mata dan energi di otak tidak mengirim pesan mengantuk. Kafein menimbulkan perasaan segar, jantung berdetak lebih kencang, tekanan darah naik dan otot otot terangsang untuk berkontraski. Hati berkerja menyalurkan gula ke darah, sehingga membentuk tambahan energi buat kita.
JIka mengacu kepada komposisi yang terkandung dalam kopi dan cara kerja kopi dalam tubuh kita, yang berfungsi sebagaimana tersebut di atas maka dugaan Kopi Aceh mengandung biji Ganja dapat diabaikan, atau tegasnya : TIDAK BENAR 99%.
Kemana yang 1% lagi??.. Jika ada beberapa orang yang menginginkan dalam kopinya mengandung zat adiktif, itu adalah selera per individu saja, bukan tawaran untuk umum dan bukan untuk diperdagangkan.
Lagian buat apa menambah zat sejenis psikotropika di dalam kopi.. Tanpa zat itu saja sudah bikin mata kita melek tidak karuan, konon lagi menambah kandungan psikotropika bisa-bisa melek seperti apa tuh??…
Apakah Anda suka minum kopi?? Coba deh sekali-sekali, apalagi jika Anda sedang menantikan tayangan kesayangan Anda.
Jadi boleh saja minum kopi asal tidak berlebihan. dan tentunya bagi yang memang doyan ngopi.

Cut Nyak dan Keude Kupi


Susita - Opini

SAYA jadi teringat kata seorang teungku, ada dua kitab, yang kalau dibuka maka ia tidak akan habis untuk dibahas. Semakin banyak saja yang akan dibahas. Sedikit susah untuk diakhiri dan ditutup. Dua kitab itu adalah seputar alam ghaib (jin, hantu dan apa yang terkait dengannya) dan dunia wanita dengan apa saja yang terkait dengannya.

Pesan teuku tadi seakan menjadi kenyataan jika kita perhatian rubrik Opini Serambi Indonesia akhir-akhir ini, tulisan tentang wanita, Inong Aceh, dengan berbagai judul seperti, “Prostitusi Aceh Year 2011” (Serambi Indonesia, 26/05/2011) oleh Mahyal De Mila, “Inong Bak Keude Kupi” (Serambi Indonesia, 27/04/2011) oleh Azwardi, “Wisata tanpa Prostitusi” (Serambi Indonesia, 28/04/2011) oleh Yuli Rahmad, dan yang terakhir “Hikayat Inong Keude Kupi” (Serambi Indonesia, 30/04/2011) oleh Jufrizal. 

Pembahasan tentang ureung inong dan keude kupi masih saja hangat. Konon lagi yang bicara adalah laki-laki. Maka itu saya sebagai wanita pun terusik untuk bicara tentang kaum “Inong Aceh”.

Semangat saya semakin menggelora ketika membaca tulisan saudara Jufrizal berjudul “Hikayat Inong Keude Kupi (Serambi Indonesia, 30/04/2011). Menurut saya siapa pun yang bicara tentang wanita harus melihat secara konprehensif, tidak parsial. Banyak hal wanita yang terkait dengan budaya, sejarah, eksistensi, syariat, budaya dan harga diri (muru’ah).

Begitupun bicara gender equality (keteraan jender) dan emansipasi wanita, mestilah arif dan bijaksana. Kita harus pandai melihat mana yang baik dan buruk. Setelah memilih yang baik pun harus dilanjutkan mana yang boleh dan tidak boleh. Tidak semua yang baik itu boleh menurut adat budaya setempat dan boleh menurut agama. Hal ini penting karena adat Aceh dan hukum Islan menyatu bagai dzat ngoen sifet. Lebih penting lagi di saat moto Visit Banda Aceh Year 2011, adalah “toward to the gate of Islamic distenation”. Banda Aceh gerbang Bandar wisata islami”.  

Islam adalah agama yang arif dan bijaksana. Semua boleh dilakukan dalam Islam, kecuali yang dilarang dalam Alquran dan hadis. Namun demikian ada perihal yang terlarang, tapi Islam masih membolehkan (rukhsah) pada kondisi tertentu. Dengan kata lain, dalam Islam ini hampir 80% perbuatan dan pilihan kita yang dibolehkan dalam Islam, termasuk yang dilarang pun masih boleh dilakukan dengan catatan dalam kondisi tertentu. 

Namun sebelum kita kembali membahas inong di kedai kopi Aceh, mari kita lihat fenomena kedai kopi di belahan dunia lainnya. Kalau Jufrizal pernah keluar negeri, atau mendengar cerita kedai kopi dari orang yang pernah keluar negeri. Maka akan tahulah kalau coffee shop, “Starbruk”, “White Cofee”, warung kopi hampir wujud di setiap belahan dunia. Dengan fenomena yang tidak jauh berbeda. Berfungsi sama sebagai tempat santai, “kongkow”, meeting formal atau informal, tempat rileks dan “makan angin”. Bahkan di Aceh bisa menjadi kantor kedua setelah atau sebelum kantor formal dia bekerja. Fungi dan peran kedai kupi di seluruh tempat tidak jauh berbeda. Baik di belahan dunia Barat ataupun Timur, Eropa atau Timur Tengah, Amerika atau Asia. Semua hampir serupa.

Namun perlu sedikit arif dalam melihat keude kupi dalam konteks dan “ureung inong” dalam bingkai ke-Aceh-an. Mungkin kedai kopi di belahan dunia Timur dan Barat sama fungsinya namun berbeda fenomena budaya di masing-masing daerah. Bisa jadi hal ini dipengaruhi idiologi agama yang dominan di suatu tempat. Di Barat hal biasa kalau cafee dipenuhi dua jenis manusia berbeda dalam satu waktu, laki dan perempuan sama hak untuk menikmati apa saja di cafee. 

Dan laki-perempuan boleh berbuat apa saja yang dikehendaki selama tidak mengganggu privasi orang lain. Hal demikian tidak kita jumpai di cafee dan keude kupi di belahan Timur yang dominan dengan budaya ketimuran. 

Nah begitu juga halnya dalam kita melihat keberadaan inong di keude kupi Aceh. Saya setuju dengan Jufrizal, bukan tidak boleh mereka berada di keude kupi. Namun saudara Jufrizal perlu sedikit arif dalam melihat fenomena di mana kita berada. Seperti kata pepatah “di mana bumi dipijak di situ langit dijungjung”.

Dalam budaya Aceh, bukan tidak boleh ureung inong berada di keude kupi, namun dengan sebab ada hajat yang mendesak, seperti membeli suatu keperluan, menghadiri acara formal. Keberadaannya yang tepaksa, karena tidak dapat atau tidak sama jika hal tersebut dilakukan di tempat lain. Sekali lagi masyarakat Aceh bisa mafhum karena kondisi terpaksa dan bukan dipaksakan.

Jadi inong di keude kupi Aceh boleh saja, dengan catatan dia bukan untuk dibiasakan demikian sehingga jadi budaya yang tidak lazim bagi orang Aceh. Karena budaya “duek” di keude kupi sudah menjadi budaya lelaki, dan semakin baik kalau terus dilanggengkan karena di situ bisa bicara lepas tanpa batas. Tanpa formalitas dan bahan terbatas. 

Saya khawatir kalau menjadi budaya anak inong duek di keude kupi. Sehinga seorang inong jadi ikon keude kupi dan ia selalunya hadir, dan mesti. Sehingga tidak sempurna kalau tidak demikian. Budaya ini lazim kalu kita lihat di keude kupi dalam masyarakat Barat yang jauh berbeda dengan budaya kita yang Islami. 

Begitu juga, sunguh tidak arif ketika Jufrizal memberi contoh semangat pahlawan wanita Aceh, Cut Nyak Dhien, secara parsial. Jufrizal hanya melihat semangat Cut Nyak Dhien keluar rumah bergabung dengan pasukan laki-laki dalam medan petempuran bagian dari bentuk emansipasi semata. Selanjutnya disamakan dengan kondisi masa ini. Di saat para inong Aceh yang keluar rumah dan bergabung dengan laki-laki di keude kupi, dengan mengabaikan budaya dan aktivitas yang dilakukan.  

Alangkah lebih arif kalau Jufrizal melihat secara menyeluruh alasan dan fungsi Cut Nyak Dhien keluar memimpin pasukan tempur bersama laki-laki saat itu. Bukalah kembali buku sejarah peperangan Aceh, bagaimana sejarah menoreh semangat kepahlawanan Cut Nyak Dhien, beliau menjadi pemimpin pasukan berperang melawan penjajah “kaphee Belanda”, di tengah kaum adam. Beliau keluar memimpim pasukan karena pada saat itu telah banyak paglima perang lelaki yang “syahid” di medan perang. Dua di antara panglima perang Aceh tersebut adalah suaminya. Hampir saja pertempuran terhenti. Melihat kondisi genting saat itu, tidak ada lelaki yang mau melanjutkan perang, maka sang wanita tangguh Cut Nyak Dhien keluar kehadapan membakar semangat pertempuran yang hampir padam sebagai cambuk motivasi bagi masyarakat Aceh yang Islami saat itu. Lihatlah betapa Cut Nyak Dhien tetap memegang hukum syara’ dalam keadaan pedih sekali pun. Ia tetap tidak mau bersentuhan dan dipegang oleh laki-laki apalagi orang kaphee penjajah Belanda saat harus dipapah dibuang kepengasingannya.

Semangat menjalankan hukum syariat oleh Cut Nyak Dhien perlu diutarakan, agar permisalannya menjadi seimbang dan kofrehensif,  tidak terpengal dan parsial. Sehingga dalam menjadikan Cut Nyak Dhien sebagai figur perempuan Aceh yang berani, shalehah, emansipatif, kesetaraan gender (gender equality) dan bermaru’ah (harga diri) jadi sempurna. Semangat seperti ini hal yang mesti dibanggakan dan dicontoh oleh “inong Aceh”, atau perempuan mana pun  ketika berada di mana pun, apalagi di “keude kupi Aceh”. 

Menjadi arif suatu tulisan tentang inong di keude kupi kalau dibahas dalam kaca mata adat budaya Aceh bukan dengan kacamata budaya Barat yang berbeda dengan budaya Timur. Apalagi di Aceh sedang dihangatkan dengan pelaksanaan Syariat Islam. Walaupun hal tersebut perlu terus dikritisi dengan semangat keaslian adat dan hukum Aceh bersyariat. Hal tersebut mesti kita lakukan kalau tidak ingin adat-istiadat Aceh hilang dari bumi Iskandar Muda. Seperti petuah nektu sang diraja mulia Iskandar Muda, “matee aneuk meupat jeurat matee adat pat tamita.

KOPI MENJADI SEBUAH TRADISI BAGI MASYARAKAT ACEH


Tradisi minum kopi dikenal di banyak masyarakat di berbagai negara. Tetapi, barangkali hanya ditemukan di Aceh, entah dikota maupun desa, sejak subuh hingga tengah malam warga silih berganti ke kedai kopi.
Di desa, sejak dulu orang biasa ke kedai kopi setelah shalat subuh," kata Sulaiman Tripa, peneliti budaya dan penulis beberapa buku di Banda Aceh. Sulaiman sendiri pernah bekerja di kedai kopi kakaknya di Trieng Gading, Pidie, saat masih duduk di bangku SLTP.
Masalah kemudian muncul. Beberapa waktu lalu Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandi Yusuf, yang juga "pengunjung" kedai kopi, sempat gusar karena banyak pegawai negeri tidak di tempat ketika jam kerja. Ia melakukan "sweeping" ke kedai kopi favorit pejabat di Banda Aceh. Sejak itu orang berseragam pegawai negeri gerah duduk di kedai kopi.
Kedai kopi juga mengundang masalah rumah tangga. "Sarapan yang disediakan istri kerap tidak disentuh. Banyak suami memilih sarapan di kedai kopi," kata Tarmizi, pengusaha kedai kopi di dekat Bandara Blang Bintang, Aceh Besar.
Berubah fungsi
Menurut Sulaiman, fungsi kedai kopi telah berubah dari tempat minum kopi menjadi sejenis ruang sosial, tempat tukar-menukar informasi.
Pendapat senada dikemukakan Teuku Kemal Fasya, antropolog di Universitas Malikussaleh, Lhok Seumawe. Di kedai kopi tersedia jawaban atas hal-hal yang tidak terselesaikan melalui jalur formal.
Di kedai kopi, warga berbincang mengenai masalah keluarga, politik lokal, nasional, dan isu yang sedang hangat dalam sorotan pers. Pergantian pejabat kerap lebih dulu terdengar di kedai kopi, termasuk skandal pejabat.
Sosok kedai kopi itu sendiri mungkin akan mengejutkan mereka yang belum pernah ke Aceh. Di Banda Aceh, ratusan manusia berjubel di beberapa kedai kopi favorit. Kendaraan roda dua dan empat diparkir memanjang seperti di kompleks pertokoan.
Kedai kopi umumnya berada di sebuah atau beberapa ruko.Ada pula yang berbentuk warung seperti di Jawa. Dapat dibayangkan ketika ruangan sempit tersebut dijejali manusia pada tengah hari yang terik. Ditambah lagi asap rokok. Tetapi, semakin berjubel manusia justru semakin menarik minat pelanggan.
"Di kedai kopi orang dapat bertemu segala rupa dan jabatan manusia. Gubernur, bupati, wali kota, anggota DPRD, pengusaha, kontraktor, guru, ulama, bahkan pengangguran," ujar Kemal Fasya. Lebih mudah menemui pejabat atau pengusaha di kedai kopi ketimbang di kantornya. "Pertemuan di kedai kopi membuka jalan bagi langkah selanjutnya."
Suasana ini sulit ditemukan di daerah lain. Di Jawa, misalnya, jangankan gubernur atau bupati, seorang pejabat eselon II atau III di daerah pastilah enggan duduk di kedai kopi bersama warga biasa atau penganggur karena dianggap dapat mencederai wibawa korps pegawai negeri.
Pelepas stres
Lebih seru komentar yang terbetik di dunia maya seputar keberadaan kedai-kedai kopi khas Aceh ini.
Seorang blogger, Dudi Gurnadi dan teman-teman misalnya. Ia memelesetkan "warkop" di Aceh ini dengan sebutan "Starblack".
Kata Starblack merupakan kata plesetan dari warung kopi internasional yang saat ini merambah di berbagai belahan dunia, Starbucks. Warna hitam kopi di kedai-kedai Aceh, serta cita rasa yang tersendiri, membuat kopi Aceh cocok disebut oleh blogger ini sebagai Starblack.
Blogger lain menyatakan, kedai kopi di Aceh juga menjadi semacam tempat dugem (dunia gemerlap). Tiadanya tempat hiburan di Aceh seperti di ibu kota, diskotek, bioskop, ataupun kelab malam yang menyuguhkan musik hidup lengkap dengan hiburan-hiburannya, membuat kedai kopi Aceh sebagai salah satu "tempat hiburan" yang menyenangkan bagi orang-orang Aceh.
Nia (29), misalnya. Pekerja kemanusiaan di salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berafiliasi dengan pemerintahan Amerika Serikat ini mengaku ingin pergi ke Nanggroe Aceh Darussalam karena kangen kongko-kongko dengan teman-teman koleganya di kedai kopi Aceh. Entah di kedai Ayah-Solong, Ulee Kareng, atau di Warkop Chek Yukee, di Jalan Pinggir Kali, Banda Aceh.
Lain lagi dengan kalangan kampus ini. "Ketika tiba di kedai kopi, hal pertama yang kami lakukan membaca koran lokal," ujar seorang mantan aktivis mahasiswa. Setelah itu, dimulai pembahasan isu menarik dalam koran tersebut. Masing-masing punya pendapat dan kerap tidak masuk akal. "Maka, kami menyebut ke kedai kopi itu meng-update fitnah," ujarnya.
"Masalah apa saja dapat diselesaikan di kedai kopi," ujar Tarmiji (42), pengusaha kedai kopi Pak Geuchik, di dekat Bandara Blang Bintang, Aceh Besar. Ia merujuk Jamil, kontraktor gurem, yang ikut berbincang saat itu. Ketika membutuhkan tenaga tukang bangunan, Jamil cukup menyebarkan informasi di kedai kopi. Esoknya beberapa tukang menemui Jamil di kedai yang sama.
Ketika darurat militer masih diberlakukan, bencana mulai menimpa mereka yang masih nekat ke kedai kopi. Apalagi kedai kopi merupakan salah satu target sweeping aparat keamanan.
Mereka yang dicurigai identitasnya diangkut ke markas militer atau Polri. Di Teupian Raya, beberapa tahun lalu, aparat keamanan membakar kedai kopi setelah sebuah bom meledak dekat jembatan dan menewaskan tiga anggota pasukan Siliwangi. Kedai yang merupakan satu-satunya bangunan dekat lokasi kejadian dicurigai sebagai pos pengendalian serangan bom itu.
Teungku Yahya, penasihat Teungku Abdullah Syafei, panglima perang Gerakan Aceh Merdeka (GAM), harus menukar keinginan duduk di kedai kopi di Pidie dengan nyawanya. Aparat keamanan ternyata sudah mengetahui rute favorit gerilyawan GAM. Teungku Yahya pun tewas kena peluru aparat.
Perubahan
Suasana kedai adalah salah satu kunci sukses bisnis kedai kopi di Aceh. Kedai kopi milik H Nawawi di Ulee Kareng, Solong Banda Aceh, misalnya. Kedainya selalu ramai, bahkan sering pengunjung berdesak-desakan duduk di kedainya.
Keributan? Tidak juga pernah terjadi keributan maupun keluhan. Padahal, setiap hari rata-rata 2.500 orang minum kopi di kedai Nawawi yang dilayani 13 karyawan itu.
Di Ulee Kareng, harga secangkir kopi biasa Rp 3.500 dan kopi susu Rp 6.000. Berarti, setiap hari ada perputaran uang sekitar Rp 10 juta.
Hebatnya lagi, harga di kedai-kedai kopi ini juga bisa menjadi semacam "indikator ekonomi" di Aceh.
"Sebelum tsunami (2004), penghasilan Rp 20.000 per hari dapat memenuhi kebutuhan hidup. Harga secangkir kopi hanya Rp 1.000. Sekarang penghasilan Rp 50.000 tidak cukup. Harga secangkir kopi sudah Rp 2.500," ujar Ramond. Ramond (64) adalah seorang pengemudi becak bermotor yang kerap mangkal di depan Hotel Sultan, Banda Aceh.
Di sana, harga secangkir kopi lebih dipercaya sebagai indikator baik-buruknya keadaan ekonomi. Kenaikan harga BBM atau kebijakan makro lain adalah hal berikut. Di sini, ke kedai kopi adalah bagian dari irama kehidupan dan dianggap menyangkut "hak asasi manusia".

kopi luwak




Kopi luwak atau kopi musang adalah kopi yang dihasilkan dari buah kopi yang sudah dimakan oleh Musang, yang kemudian telah melewati saluran pencernaannya. Seekor musang hanya memakan bagian buah kopi yang manisnya saja. Ketika buah kopi berada di perutnya zat proteolytic enzim menyerap ke buah kopi tersebut, sehingga buah kopi itu terbebas dari asam amino. Sehingga sewaktu musang membuang air besar maka biji-biji kopi yang sudah terkelupas dari kulit luarnya keluar dari perut si musang. Kemudian sesudah dikumpulkan, dicuci dengan seksama, dan dekeringkan dibawah sinar matahari, maka kopi jenis ini akan menghasilkan kopi aromatik yang tidak terlalu pahit, malah kopi jenis ini (luwak) dikenal di dunia saat ini sebagai kopi termahal.

Kopi luwak dihasilkan di pulau Sumatra, Jawa, Bali dan Sulawesi, serta juga ada di Filipina (di mana produk ini disebut motit kopi terdapat di Cordillera dan Kape Alamid di wilayah Tagalog) dan juga di Timor Timur (dinamakan kopi kaf-laku). Kopi Luwak dalam bahasa Inggeris dikenal dengan sebutan Weasel Coffee. (Wiki)